BANNER

banner kecil

Jumat, 30 November 2012

GURU MURSYID bagian 3 (habis)


Kemaksuman dan wahyu bagi Guru Mursyid
Kemaksuman adalah kualitas batin akibat pengendalian diri yang memancar dari sumber keyakinan, ketakwaan dan wawasan yang luas. Sifat batin yang sangat kuat ini begitu efektif sehingga mampu menghalangi manusia untuk melakukan semua jenis dosa atau pemberontakan, baik besar maupun kecil, baik tersembunyi maupun terbuka.
Maka dapat kita katakana bahwa factor-faktor yang mengarahkan kepada pengingkaran dan dosa tidak memiliki efek pada orang seperti itu, sehingga maksum disini lebih menekankan bahwa ia memiliki kebebasan untuk memilih dan berbuat, tapi ia dicegah untuk mendekati wilayah dosa oleh kesadaran dari sifat agungnya dan hadirnya Allah secara terus menerus.
Umumnya melakukan dosa adalah akibat dari tidak mengetahui buruknya perbuatan tersebut dan konsekuensinya, atau orang sadar akan buruknya, dan keyakinannya memperingatkan dan menasehati akan bahayanya perbuatan itu, namun ia terus ditopang oleh keinginannya (nafsu/angan) sampai kehilangan semua diri, sehingga jatuh dalam perbuatan dosa. Sehingga diperlukannya perhatian terhadap konsekuensi dari perbuatan seseorang, meningkatkan ketakwaan, dan pemahaman secara sempurna tentang kepatuhan terhadap hukum Allah, maka akan menciptakan kemaksuman tertentu dalam diri manusia, setelah itu tidak lagi dibutuhkan sarana pengendalian dan control diri.
Orang-orang akan tunduk secara total terhadap tuntunan-tuntunan guru mursyid mereka dan sepakat menerima perintahnya ketika mereka menganggap semua perintah itu sebagai perintah dari Allah, tanpa ada rasa ragu sedikitpun dalam persoalan ini. Jika seseorang tidak benar-benar terjaga dari dosa, apakah kata-katanya dapat ditaati dengan penuh dedikasi?
Dampak kemaksuman adalah seperti itu, sehingga ia melindungi manusia dari tipuan dunia ini dan memungkinkan dia untuk tabah menghadapi semua bentuk gangguan.
Kemaksuman ini tidak bisa hanya dibatasi pada periode yang didalamnya sudah benar-benar jadi mursyid, namun dalam hidupnya, termasuk periode sebelum menjabat mursyid, hatinya harus bebas dari semua kegelapan dan kepribadiannya terbebas dari dosa. Disamping kenyataannya perbuatan dosa menyebabkan hilangnya martabat manusia, orang-orang selalu menganggap berlanjutnya dosa dan penyelewengan yang telah mereka ketahui dia lakukan dimasa silam, sekalipun hanya yang kecil-kecil saja. Tuduhan ini pada gilirannya akan merampas kemursyidan seseorang, karena ia tidak lagi dianggap sebagai tauladan ketakwaan dan kesucian. Karena kenangan pahit tentang kehidupan yang sebagiannya dihabiskan dalam dosa tidak akan pernah bisa dihapus.
Sehingga syarat pertama dan utama untuk jabatan mursyid adalah kesucian batin, ketakwaan yang mendalam, dijaga oleh Allah dari melakukan dosa (Maksum/mahfudz), dan memiliki hati yang sangat baik sebelum dan sesudah terpilih untuk menjabat sebagai mursyid, serta ia merupakan keturunan dari Nabi saw.
Karena seungguhnya Allah telah menguraikan ayat kesucian dan karakter khas mereka sebagai berikut;
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآَتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
 “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahuludan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (Qs. Al Ahzab; 33)
Kebenaran dan kemaksuman mursyid termanifestasi dalam ucapan, perbuatan, dan pemikiran karena pengetahuan mereka sebagai akibat dari wahyu atau ilham.
Wahyu/ilham ini tidak akan berhenti hanya dalam fase kenabian saja, namun tetap berlanjut kedalam fase setelahnya (fase kemursyidan).
وخبر لاوحي بعدى باطل.  ومااشتهر أن جبريل عليه السلام لاينـزل إلى الأرض بعد موت النبي صلى الله عليه وسلم فهو لاأصل له (الفتاوى الحديثية ص 129)
“dan berita tentang tidak ada wahyu setelahku (setelah nabi Muhammad) adalah salah, dan berita yang masyhur bahwa sesungguhnya Jibril tidak turun kebumi setelah wafatnya Nabi saw. adalah tidak ada dasar hukumnya” (Fatawil Hadisiyah).
Dari kutipan kitab tersebut menjelaskan akan adanya wahyu setelah kenabian Muhammad saw. Karena pada dasarnya wahyu adalah ilham atau petunjuk Allah kepada hambanya yang istimewa. Seperti halnya wahyu atau ilham yang disampaikan Allah sebagai berikut;
والوحي بمعناه اللغوى يتناول الإلهام الفطرى للإنسان كالوحي إلى أم موسى (وأوحينا إلى أم موسى أن أرضعيه, القصص 7) التفسير وعلومه ص 5_
“dan Wahyu menurut arti bahasa adalah mendapatkan ilham yang lembut bagi manusia seperti halnya wahyu kepada ibunya Nabi Musa (dan aku wahyukan kepada ummi Musa; susuilah dia (musa)”.   
Sehingga dapat disimpulkan bahwa wahyu/ilham bukan hanya terbatas kepada para nabi saja melainkan kepada orang-orang yang diistimewakan oleh Allah bisa terjadi khususnya kepada Guru Mursyid, karena ia ditugaskan oleh Allah untuk membimbing ummat dengan berdasarkan pada petunjuk Al-quran. Dari keterangan tersebut kita juga dapat memetakan bahwa term wahyu dikhususkan untuk para Nabi, sedangkan term Ilham dikonotasikan untuk para wali Allah.
Penafsiran makna batin dari Al-quran adalah pengetahuan yang berasal dari dunia tak Nampak; dengan kata lain ia bukan pengetahuan yang bisa diperoleh melalui cara-cara konvensional. Penafsiran sesungguhya hanya bisa diperoleh dari karunia Allah swt. Al-quran menyatakan;
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آَيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آَمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (As. Ali Imran: 7)


Penutup
Allah sajalah yang berhak memilih seseorang sebagai guru umat manusia dan pembimbing ummat, untuk menjelaskan hokum-hukum-Nya, untuk menginterpretasikan masalah-masalah kompleks dalam Al-quran, dan untuk mempertahankan kebenaran dan mengembangkan kepribadian ummat. Allah mempercayakan jabatan ini kepada orang istimewa dan memiliki sifat maksum/mahfudz yang benar-benar unik dalam kualitas spiritualnya, atribut lahir batinnya serta komunikasi dengan dunia yang tersembunyi. Orang seperti ini memahami kebenaran batin dari sesuatu dengan mata batinnya, ia selalu menghadap pada kebenaran dengan cara yang sedemikian rupa, keyakinannya tidak pernah menyeleweng dan perbuatannya tidak pernah menyimpang dari jalan yang benar, karena segala sesuatunya atas kehendak Allah swt. Sehingga guru mursyid adalah orang yang paling mulia dimasanya, yang paling unggul dari sahabat seangkatannya.


LAMPIRAN
عَلَى خُلَفَائِى رَحْمَةُ اللهِ قِيْلَ وَمَنْ خُلَفَائُكَ قَالَ الَّذِيْنَ يُحْيُوْنَ سُنَّتِى وَيُعَلِّمُوْنَهَا عِبَادَ اللهِ
"Semoga rohmat Allah ditetapkan bagi para kholifahku. Beliau ditanya: siapakah para kholifahmu tuan? Beliau menjawab: mereka adalah orang-orang yang menghidupkan sunnahku dan mengajarkannya kepada hamba-hamba Allah."[1]
تَنَقَّلَ نُوْرُ الْمُصْطَفَى سَيِّدِ الْبَشَرِ# إِلَى ظَهْرِ آدَمَ كَانَ أَضْوَا مِنَ الْقَمَرِ
"Nur Rosulullah yang terpilih pimpinan manusia, berpindah kepunggung nabi adam. Nur itu lebih terang dari pada rembulan."[2]
وَاعْلَمْ أَنَّ مُحَمَّدًا ص م. أَعْطَي جَمِيْعَ اْلأَنْبِيَاءِ وَالرُّسُلِ مَقَامَاتِهِمْ فِى عَالَمِ اْلأَرْوَاحِ حَتىَّ بَعَثَ بِجِسْمِهِ عَلَيْهِ السَّلاَم وَاتَّبَعْنَاهُ وَالْتَحَقَ بِهِ مِنَ اْلأَنْبِيَاءِ فِى الْحُكْمِ مَنْ شَاهَدَهُ أَوْ نَزَلَ بَعْدَهُ
"Dan ketahuilah bahwa Muhammad saw. memberikan kepada semua nabi dan rosul kedudukan-kedudukan atau derajat-derajat mereka di alam arwah sampai ia diutus dengan rupa jasadnya (dialam dunia) dan kita mengikutinya. Dan secara hukum dapat dipertemukan dengan beliau diantara para nabi, orang-orang yang menyaksikan beliau, atau turun sesudah beliau."[3]

Mudrik menadzomkan sebagai berikut:
Sapa wonge nemu guru sifat papat
Gandulana poma-poma ingkang kuat
Ingkang dingin sifat ipun mu'ayyidin
Nguwataken ing agama kelawan yakin
Ingkang kapindo sifat ipun zahidin
Ora jejaluk ing menusa sarta jin
Ingkang kaping telu sifat ipun musyfikin
Kang makani ewon-ewon fakir miskin
Kang kaping pat ru'afa lil mu'minin
Kang muruki wong bodo sehingga yakin
Mungguh kula iku abah umar
Ingkang muruki syahadat ora samar



[1] "Raudhatul Muhadditsin", hadis ke 4928
[2] Madarijus Su'ud hal 4
[3] "Khozinatul Asror", hal. 194

Nara Sumber: K. Zaenal Abidin Kanci dan K. Drs. Hasan Makmum
Penulis: Ustadz Abdul Hakim Munjul
Editor: Yusuf Muhajir Ilallah

Selasa, 27 November 2012

GURU MURSYID bagian 2


Guru Mursyid sebagai Wasilah Kepada Allah
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (al-Maidah: 35)
Ayat ini berisi perintah bahwa manusia wajib mencari dan menemukan wasilah Allah. Menurut versi sufi wasilah dalam ayat ini bermakna Nurun ala Nur,  karena ia membawa peranan untuk menghantar, menuntun jiwa/rohani manusia yang telah disucikan agar sampai kehadirat-Nya.
Kalau Rasulullah menggunakan Buraq sebagai wasilah untuk dapat mencapai kehadirat Allah, berarti kitapun harus memakai wasilah. Wasilah Allah itu telah tertanam dalam diri Rasulullah saw., maka untuk mendapatkannya salah satunya adalah dengan menggabungkan rohani suci Rasulullah melalui saluran rohani seorang guru yang mursyid.
وَلَمَّا وَرَدَ فِى الْحَدِيْثِ  كُنْ مَعَ اللهِ وَاِنْ لَمْ تَكُنْ فَكُنْ مَعَ مَنْ كَانَ مَعَ اللهِ فَإِنَّهُ يُوْصِلُكَ إِلَى اللهِ إِنْ كُنْتَ مَعَهُ
"dan berdasarkan riwayat dalam hadits tetaplah kamu bersama Allah dan jika tidak, maka tetaplah bersama orang yang selalu bersama Allah. Sesungguhnya ia akan mengantar kamu kepada Allah, jika kamu terus bersamanya."
Jadi, titik berat daripada ajaran tasawwuf adalah mewajibkan penganutnya untuk memiliki wasilah Allah sebagai kendaraan rohani agar dapat berhubungan dengan segala hal yang berkaitan dengan aspek rohaniyah bukan yang bersifat jasmaniyah.
Diri rohani para Nabi dan Rasul, para Wali Allah, serta Rohani orang-orang mukmin sudah pasti dipenuhi oleh energy ilahi yang mempunyai kekuatan dan getaran yang maha tinggi. Kekuatan itu satu-satunya yang mampu menghadang kekuatan iblis dalam diri, dan menghadang api neraka.
Manusia harus berjuang melalui jalan tarekatullah bila hendak mendapatkan energy ilahi tersebut. disamping itu pula harus memahami hakikat daripada dimensi jasmani dan rohani. Sebab tertibnya rukun dan syarat berkaitan dengan jasmani belum bisa dikatakan cukup untuk mendapatkan energy ilahi tadi. Akan tetapi, masih memerlukan sisi lain yang berhubungan dengan rohani, rahasia ini ada dalam diri guru yang mursyid.

Kriteria Guru Mursyid
Tidak mudah untuk menyandang predikat guru mursyid kalau bukan Allah sendiri yang menunjuknya. Secara khusus para ulama memberikan criteria atau cirri-ciri guru mursid sebagai berikut;
وَشُرُوْطُ الشَّيْخِ الَّذِى يَصْلُحُ أَنْ يَكُوْنَ نَائِبًا لِرَسُوْلِ اللهِ ص م. أَنْ يَكُوْنَ تَابِعًا لِشَيْخٍ بَصِيْرٍ يَتَسَلْسَلُ إِلَى سَيِّدِ الْكَوْنَيْنِ ص م. وَأَنْ يَكُوْنَ عَالِمًا لِأَنَّ الْجَاهِلَ لاَيَصْلُحُ لِلإِرْشَادِ وَأَنْ يَكُوْنَ مُعْرِضًا عَنْ حُبِّ الدُّنْيَا وَحُبُّ الْجَاهِ وَيَكُوْنَ مُحْسِنًا لِرِيَاضَةِ نَفْسِهِ
"Syarat-syarat guru yang patut menjadi pengganti Rasulullah adalah;
-       mengikuti seorang guru yang dapat melihat (dengan hati) yang menyambung (sanadnya) sampai kepada Rasulullah, sang pemimpin dua makhluk (jin dan manusia).
-       Harus Alim (menguasai ilmu dzahir dan bathin), sebab orang yang bodoh tidak bisa menjadi penunjuk kebenaran.
-       Selalu berpaling dengan kecintaan kepada dunia dan kedudukan.
-       Selalu dapat melatih jiwanya."[1]
وَيَخْتَارُهُ لِلصَّحْبَةِ مِنَ اْلأَئِمَّةِ الْمُؤَيِّدِيْنَ مِنَ اللهِ تَعَالَى بِنُوْرِ الْبَصِيْرَةِ الزَّاهِدِيْنَ بِقُلُوْبِهِمْ فِى هَذَا الْعَرَضِ الْحَاضِرِ الْمُشْفِقِيْنَ عَلَى الْمَسَاكِيْنِ الرُّؤَفَاءِ عَلَى ضُعَفَاءِ الْمُؤْمِنِيْنَ فَمَنْ وَجَدَ أَحَدًا عَلَى هَذِهِ الصِّفَةِ فِى هَذَا الزَّمَانِ الْقَلِيْلِ الْخَيْرِ جِدًّا فَلْيَشُدَّ يَدَهُ عَلَيْهِ وَلِيَعْلَمَ أَنَّهُ لاَيَجِدُ لَهُ ثَانِيًا    (أم البراهين ص 69)
"Dan Ulama memilih untuk berguru kepada imam-imam Muayyidin (yang menguatkan) agama Allah dengan nur pengawasannya, yang zuhud (Zahidin) terhadap/dari dunia (harta), yang mengasihi (musyfiqin) orang-orang miskin, yang lembut dan kasih sayang (ru'afa) kepada orang-orang mukmin yang lemah. Maka barang siapa menemukan seseorang yang bersifat seperti sifat ini pada zaman yang sangat sedikit kebaikannya ini, maka berpegang kuatlah dan belajarlah kepadanya, karena sesungguhnya ia itu tiada duanya".[2]
فَمَنْ لَمْ تَتَّصِلُ سِلْسِلَتُهُ إِلَى الْحَضْرَةِ النَّبَوِيَّةِ فَإِنَّهُ مَقْطُوْعُ الْفَيْضِ وَلَمْ يَكُنْ وَارِثًا لِرَسُوْلِ اللهِ ص م. وَلاَ تُؤْخَذُ مِنْهُ الْمُبَايَعَةَ وَاْلإِجَازَةَ
وَلِمَا أَخْرَجَهُ الطَّبْرَانِى عَنْ عَبْدِ الله بن بِسْرِ رَضِيَ الله عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ الله ص م. طُوْبَى لِمَنْ رَآنِى وَآمَنَ بِى وَطُوْبَى لِمَنْ رَآى مَنْ رَآنِى وَ لِمَنْ رَآى مَنْ رَآى مَنْ رَآنِى وَآمَنَ بِى وَطُوْبَى لَهُمْ وَحُسْنُ مَآبٍ
وَلِهَذَا جَرَتْ التَّأْثِيْرَاتُ مِنَ الْمَشَايِخِ لِلْمُرِيْدِيْنَ وَيَجْرِى إِلَى آخِرِ الدَّهْرِ لِأَنَّ إِسْنَادَ الْحَالِ كَإِسْنَادِ اْلأَحْكاَمِ
"Maka barangsiapa (guru) yang tidak menyambung silsilahnya sampai kepada Rasulullah, maka sesungguhnya ia terputus dari limpahan (barakah/rahmat) dan ia bukan pewaris Rasulullah saw. dan kita tidak boleh mengambil baiat dan ijazah darinya
dan berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam Thabrani dari Abdullah bin Bisr ra. Bahwa sesungguhnya ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Alangkah bahagianya orang yang melihatku dan beriman kepadaku, betapa bahagianya orang yang melihat orang-orang yang melihatku, dan alangkah bahagianya orang yang melihat orang-orang yang melihat pada orang yang melihatku dan beriman kepadaku, alangkah bahagianya mereka, dan (bagi mereka) tempat kembali yang baik.
Maka dari itu berlaku pengaruh-pengaruh para guru terhadap murid-murid mereka, dan (hal ini) berjalan terus sampai akhir zaman. Sebab, sanad dalam `hal` sama dengan sanad dalam hukum."[3]


[1] Khozinatul Asror hal. 194 (lihat pula dalam kitab Tanwirul Kulub hal. 525)
[2] Sayyid Muhammad As-Sanusi, "Ummul Barahin" hal. 69, Maktabah Karya Toha Putra, Semarang.
[3] Khozinatul Asror hal. 188-189

Nara Sumber: K. Zaenal Abidin Kanci dan K. Drs. Hasan Makmum
Penulis: Ustadz Abdul Hakim Munjul
Editor: Yusuf Muhajir Ilallah

Senin, 12 November 2012

GURU MURSYID bagian 1

Pendahuluan
Guru Mursyid /Imam adalah pemimpin dan teladan bagi masa yang membentuk ummah (masyarakat). Guru disini adalah orang yang terjaga dari dosa (Mahfudz) yang ditunjuk oleh Nabi Muhammad saw. sebagai penerusnya atas perintah Allah.
Imamah (kholifah) dan ummat menurut pendekatan sosiologi adalah dua istilah yang tidak terpisahkan, karena ketiadaan imamah menjadi sumber munculnya problem-problem ummat, dengan demikian imam/guru adalah mursyid, insan kamil, dan syahid (saksi) karena tanpa adanya mursyid maka ummat manusia akan mengalami disorientasi (kehilangan arah) dan alienasi (keterasingan).
Dalam pandangan ilmu tasawwuf guru mursyid mempunyai peranan besar dalam membentuk manusia ketingkat realisasi tertinggi dalam menempuh perjalanan spiritual, karena dimensi Al-quran telah tertanam dalam dirinya.  Hanya saja persoalan ini jarang dikupas dan diteliti karena guru mursyid hanya dimengerti oleh hati yang terbuka dan jiwa yang telah disucikan.

Guru Mursyid sebagai Keharusan Rasional
Ia adalah seorang guru yang mendapatkan Nur Ilahi sehingga ia dapat dikatakan sebagai guru mursyid, dan kata mursyid tersebut dapat diartikan sebagai nur ilahi.
نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ
Cahaya diatas cahaya. Tuhan akan menuntun cahaya-Nya. Siapa yang dikehendaki-Nya (Qs. An-Nur; 35)
Jadi hakikatnya mursyid itu tidak berwujud, akan tetapi setelah masuk kedalam rumah wujud barulah ia memiliki wujud. Dan mursyid itu tidaklah banyak, yang banyak adalah badan ragawi yang disinggahi, ibarat pancaran sinar matahari yang masuk ke berbagai lubang sehingga kelihatannya banyak namun pada hakikatnya hanya satu. Dan untuk dapat bermanfaat dalam mendekatkan diri dengan Allah maka nur tersebut harus dimasukkan kedalam jiwa (bukan kedalam akal dan pikiran).
Memasukkan Nur Ilahi kedalam diri tentu tidaklah mudah, harus ada metodologinya, dan metodologi tersebut ada dalam tarekatullah yang hak dan harus melalui petunjuk seorang guru yang mursyid, (setelah itu barulah manusia dapat ber-tajalli dengan Tuhan) karena guru mursyid adalah kholifah rosul yang mampu mengajarkan segala sesuatu yang telah diwariskan oleh Rasul [1] yang secara historis dan dalam konteks ilmiah mewarisi Nur Ilahi secara langsung dari Rasulullah saw.[2]

Keutamaan Berguru
Salah satu fungsi dan sifat guru adalah menyebarluaskan bimbingan batin kepada manusia. Ini bukanlah sekedar bimbingan lahir dalam persoalan-persoalan hukum dan syariat, ini adalah posisi (maqom) yang agung dan mulia, yang telah dilimpahkan oleh Allah kepada orang-orang pilihan diantara makhluk-Nya, orang-orang pilihan ini dapat mempengaruhi pemikiran dan kehidupan batin manusia. Mereka menerangi ummat dengan pengetahuan batin dan membantu mereka untuk memperhalus jiwa dan perjalanan batinnya, maka menjadi kewajiban manusia untuk mengikuti dan menyatukan dirinya dengan mereka melalui bimbingan yang disediakannya, sehingga mencegah manusia agar tidak terjerumus kedalam lubang keinginan-keinginan intuitif dan kecenderungan terhadap penyelewengan-penyelewengan batin.
Mursyid adalah orang yang menduduki posisi tertinggi dalam kehidupan spiritual, dan dipercaya untuk mengemban tugas pembimbingan spiritual,   ia adalah saluran kasih sayang Allah yang mengalir kepadanya berkat pancaran suprasensible (diatas jangkauan indera). Al-quran mengkhususkan kondisi jabatan imam dengan pernyataan;
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآَيَاتِنَا يُوقِنُونَ
dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami. (As-Sajdah; 24)
وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَإِقَامَ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءَ الزَّكَاةِ وَكَانُوا لَنَا عَابِدِينَ
Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada kamilah mereka selalu menyembah,(Al Anbiya; 73)
يَوْمَ نَدْعُوا كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ فَمَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ فَأُولَئِكَ يَقْرَءُونَ كِتَابَهُمْ وَلَا يُظْلَمُونَ فَتِيلًا
 (ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya; dan Barangsiapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya Maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun. (Al-Isra ; 71)
وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ
dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim". (Al Baqarah; 124)
Kesimpulannya ayat-ayat tersebut mengidentifikasikan bahwa imamah/khalifah adalah ikatan ilahiyah yang hanya diberikan kepada orang-orang yang dikehendaki oleh Allah yang dalam hal ini keturunan Ibrahim as. Tidak diragukan lagi bahwa hamba Allah yang paling sempurna diantara keturunan Ibrahim as. adalah Nabi Muhammad saw., dan para imam yang ma’sum/mahfudz,  sehingga mereka dianggap sebagai imam yang diberi kepercayaan dengan tugas bimbingan batin dan pengetahuan Ladunny.
Syekh Abu Yazid Bustomi memberikan pandangannya tentang kewajiban berguru
قَالَ أَبُو يَزِيْدِ البُسْطَامِى مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ فَشَيْخُهُ الشَّيْطَانُ (وَقَالَ) أَبُو سَعِيْدٍ مُحَمَّدٍ الْخَادَمِى مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ فَيَكُوْنُ مُسَخَّرَةً لِلشَّيْطَانِ (خزينة الأسرار ص 189)
"Abu Yazid Al Bustomi berkata: barang siapa yang tidak memiliki guru, maka gurunya adalah syetan. Dan berkata Abu Sa'id Muhammad Al Khodami: barang siapa yang tidak memiliki guru maka ia akan di tundukkan oleh syetan."
Didalam Al-quran pun diceritakan bahwa Nabi Musa berguru kepada Nabi Hidir As., hal ini memberikan pelajaran kepada kita tentang pentingnya berguru dengan patuh dan taat atas apa yang diperintahkan oleh guru, sabar dan istiqamah dalam mengikutinya.
قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا
Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?"(Al-Kahfi 66).


[1][1] Raudhatul Muhadditsin hadis ke 4928
[2] Khozinatul asror hal. 194 dan Madarijussuud hal. 4

Nara Sumber: K. Zaenal Abidin Kanci dan K. Drs. Hasan Makmum
Penulis: Ustadz Abdul Hakim Munjul
Editor: Yusuf Muhajir Ilallah