BANNER

banner kecil

Kamis, 28 Juli 2011

Tausiah al-Habib Abdurrahman bin Umar bertajuk "Sentralisasi Tuntunan Jama'ah Asy-Syahadatain"

Sebagaimana yang kita ketahui tentang maksud dan tujuan “Ruwahan” yang semarak di Indonesia terlebih di pulau Jawa, ritual dan prosesi perayaan “Ruwahan” juga mengandung simbol-simbol yang mempunyai maksud dan tujuan. Grand concept (ide utama) dalam pelaksanaan “Ruwahan” tercermin dalam sebuah hadits:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: من عظم شعبان واتقى الله تعالى وعمل بطاعته وامسك نفسه عن المعصية, غفر الله تعالى ذنوبه وامنه من كل ما يكون فى تلك السنة من البلايا والامراض كلها
Rasulullah SAW. bersabda: “Siapa yang mengagungkan bulan Sya’ban, bertakwa kepada Allah, mengerjakan ketaatan kepada Allah dan menjaga diri dari maksiat, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya dan memberikan keamanan kepadanya dari setiap cobaan dan sakit yang akan ia hadapi”.
Sungguh anugrah penawaran yang baik untuk kita kerjakan di bulan yang dimulyakan Allah tersebut. Semarak mengadakan kegiatan silaturahim yang dikemas dengan tawasul akbar yang diadakan setiap tahun oleh Jama’ah Asy-Syahadatain di Kudus, Demak dan sekitarnya, yang kemudian disentralkan di Masjid Agung Demak merupakan sebuah konsep acara yang didesign untuk mengagungkan bulan Sya’ban. Selain itu doa bersama melalui mekanisme tawasul akbar merupakan cerminan bahwa yang melaksanakannya adalah orang yang takwa kepada Allah dan melakukan berbuatan yang diperintah Allah sebagaimana dalam sebuah ayat:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ (المؤمن: 60)
Artinya:     “Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam Keadaan hina dina". (QS. Al-Mu’min: 60)
Dengan demikian maka bisa dikatakan bahwa konsep acara tersebut adalah murni ketakwaan dan ketaatan kepada Allah SWT. Maka penawaran atas perbuatan tersebut dibayar mahal oleh Allah dengan harapan Allah akan mengampuni dosa-dosa kita dan Allah akan memberikan keamanan dari setiap cobaan dan sakit yang akan kita hadapi dan setahun ini. 
Sapa wonge ngagungaken wulan Sya’ban # Lan taqwa tur amal taat ning Pengeran
Nahan nafsu sing ngelakoni maksiat # Allah ngapura lan maringi selamat
Dalam tahun iku Allah paring aman # Saking pancabaya lan penyakit badan
(Kitab catatan nadzom KH. Abdul Rasyid Wanantara, hal. 19)

Ahad malam Senin tanggal 17 Juli 2011 tamu yang dari berbagai penjuru daerah, kabupaten dan luar propinsi berdatangan ke Masjid al-Fattah Hidyatullah Mejobo Kudus untuk silaturahim dan mempersiapkan menapak tilas perjalanan Abah Umar di Masjid Agung Demak. Sejak Maghrib Jama’ah sudah berdatangan untuk mengikuti acara tawasul akbar yang diadakan oleh Jama’ah Asy-Syahadatain Kudus setiap tahunnya selain acara di Masjid Agung Demak. Sekitar ratusan orang ikut dalam kegiatan tersebut. Sebagai pembicara dalam pengajian setelah tawasul adalah al-Habib Abdurrahman bin Umar bin Isma’il bin Ahmad bin Yahya. Beliau adalah salah satu putera Abah Umar yang saat ini secara demokrasi diamanahi sebagai ketua Organisasi Kemasyarakatan Dewan Pimpinan Pusat Jama’ah Asy-Syahadatain Indonesia.

Di dalam uraian hikmah yang beliau sampaikan, beliau mengambil tajuk “Sentralisasi Tuntunan Jama’ah Asy-Syahadatain”. Saat ini yang sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa Abah Umar memberikan tuntunan aurad atau wirid yang berbeda-beda pada masing-masing daerah. Seperti Panguragan wiridnya berbeda dengan Munjul, Munjul berbeda dengan Wanantara, Wanantara berbeda dengan Kebon Danas, Kebon Danas berbeda dengan Kudus dan seterusnya. Kita tidak bisa menggarisbawahi apakah ini murni dari Abah Umar atau Ijtihad masing-masing daerah, namun kalau itu terbukti bahwa masing-masing aurad sah, maka itu sah untuk kita gunakan.
Yang menjadi perhatian kita seharusnya bukan pada perbedaan aurad, akan tetapi pada persamaan prinsip. Karena kita harus meyakini bahwa berbedaan itu hanya Abah Umar yang tau maksud dan tujuannya. Kita juga harus mengembalikan kepada teks awal yaitu yang kita istilahkan dengan aurad standar yang saat ini digunakan di Panguragan. Janganlah kita mengurangi juga janganlah kita menambahi, karena apabila itu tidak diridlai Abah Umar sebagai creator, maka Abah Umar tidak bertanggungjawab adanya.
Janganlah pula perbedaan tersebut yang kita ributkan selama ini, sehingga perbedaan tersebut akan menghancurkan kebersamaan kita. sebagaimana contoh, tidak ikut tawasul gara-gara berbeda, tidak ikut ngaji gara-gara beda, tidak ke masjid gara-gara beda, tidak ikut jama’ah gara-gara beda, dan seterusnya. Pesan akhir yang disampaikan al-Habib Abdurrahman yang sering disapa dengan Abah Amang dalam penutupan tausiahnya bahwa “Marilah kita kembalikan ke Tuntunan Abah Umar”. Beliau mengambil konsep dari sebuah ayat al-Qur’an tentang mengembalikan ke pokok tuntunannya apabila terjadi pertentangan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (النساء: 59)
Artinya:     “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (an-Nisa’: 59)
Karena yang kita pertentangkan adalah tuntunan Abah Umar maka kita kembalikanlah kepada guru kita yaitu Abah Umar bin Isma’il bin Ahmad bin Yahya.
Hai sedulur lanang wadon enom tua # Maring kang bagus sira pada lurua
Sapa ngaji ora gampang kena bujuk # Merga olih keterangan lan petunjuk
Cekalane umat ipun gusti Rasul # Qur’an Hadits Ijma’ Qiyas aja ucul
Kitab-kitab ingkang dipun lampahaken # Ahli Sunnah wal Jama’ah mulangaken
(Kitab catatan nadzom KH. Abdul Rasyid Wanantara, hal. 20)

Wallahu A’lam…

Rabu, 20 Juli 2011

JAMA'AH ASY-SYAHADATAIN di "Simpang Jalan"

Jama’ah adalah sebuah forum dan komonitas yang berfungsi sebagai ajang silaturahim dan komunikasi dalam rangka menyamakan persepsi tentang visi dan misi organisasi dan jama’ah. Kedisiplinan dalam organisasi jama’ah bisa mempengaruhi dalam kualitas melaksanakan kegiatan dalam jama’ah tersebut. Hal ini dibuktikan dengan pengendalian oleh pemimpin yang professional akan menghasilkan optimalitas kegiatan.
Syaikhuna Abah Umar bin Isma’il bin Yahya adalah seorang guru Mursyid yang di satu sisi sebagai pemimpin yang professional dalam memanage keberlangsungan jama’ah melalui memberdayakan murid-muridnya yang notebene adalah tokoh agama di masyarakat sekitar. Hasil yang dicapai waktu itu adalah hidupnya kegiatan jama’ah Asy-Syahadatain baik di kota maupun di plosok daerah yang terpencil.
Hal tersebut seharusnya menjadi inspirasi bagi kita semua bahwa Syaikhunal Mukarrom Abah Umar mengajarkan kepada kita semua tentang fungsi dan urgensitas organisasi Jama’ah. Jauh di seberang jalan ada oknum yang tidak mengerti dan tidak mau mengerti tentang organisasi di dalam Jama’ah Asy-Syahadatain. Argumentasi mereka adalah Abah Umar tidak mengajarkan berorganisasi dan Abah Umar hanya mengajarkan ubudiyah sehari-hari. Sementara itu di seberang jalan yang lain ada oknum yang mengatasnamakan organisasi tetapi hanya ingin hidup dari organisasi bukan menghidupkan organisasi. Oknum tersebut hanya mencari kepentingan pribadi di atas kepentingan jama’ah.
Dua sisi yang sangat berbeda yang sama-sama bisa menghancurkan dan memporak-porandakan jama’ah, itu lah yang bisa digambarkan melalui keadaan tersebut. Problem tersebut bisa kita hadapi dan bisa kita cegah dengan dua cara yaitu re-optimalisasi peran pimpinan jama’ah di daerah dengan reorganisasi yang bersifat tambal sulam dan pemberdayaan Masyayikh Jama’ah Asy-Syahadatain dengan membentuk sebuah majlis.

Selasa, 19 Juli 2011

أَغْفِرْ لَنَا / اِغْفِرْ لَنَا ؟؟؟


Ada seseorang bertanya dengan saya tentang kalimat yang di dalam aurad aghfir lana dengan ighfir lana, mana yang benar? Umumnya sih memakai ighfir lana, terus kenapa ko Abah Umar memakai aghfir lana. Kemudian jawab saya:
Sesungguhnya yang tau maksud Abah Umar memilih redaksi aghfir lana daripada ighfir lana yang tau hanya Abah Umar sendiri, namun secara behasa adalah sebagai berikut:
Kalimat yang seringkali dipakai dalam memohon pengampunan yang berasal dari bentuk kalimat غفر ada 3 macam bentuk, yaitu:   اِغْفِرْ لَنَا, اَسْتَغْفِرُ اللهَ dan اَغْفِرْ لَنَا . Jika kalimat اِغْفِرْ berasal dari kalimat غَفَرَ يَغْفِرُ اِغْفِرْ  yang berarti mengampuni atau menutupi, sedangkan اَسْتَغْفِرُ berasal dari kalimat اِسْتَغْفَرَ يَسْتَغْفِرُ yang berarti memohon ampun, maka اَغْفِرْ berasal dari kalimat اَغْفَرَ يُغْفِرُ اَغْفِرْ yang berarti menutupi atau memasukkan. Dalam kitab Taj al-Arusy min Jawahir al-Qamus karya Muhammad bin Muhammad bin Abdurrazzaq al-Husaini juz 13 halaman 246 dan kitab Lisan al-Arab karya Muhammad bin Mukarram bin Mandhur al-Afriqi juz 5 halaman 25 disebutkan bahwa kalimat اَدْخَلَ (memasukkan),  سَتَرَ (menutupi), dan  اَوعَى(memasukkan dalam wadah) mempunyai arti yang sama dengan اَغْفَرَ.
أَدْخَلَهُ وسَتَرَهُ وأَوْعاهُ كأَغْفَرَهُ وكذلك غَفَرَ الشَّيْبَ بالخِضَابِ: غَطَّاهُ وأَغْفَرَه قال:
حَتَّى اكْتَسَبْتُ مِن المَشيبِ عِمَامَةً ... غَفْرَاءَ أُغْفِرَ لَوْنُها بخِضَابِ
Dengan demikian apabila kita meneliti dengan seksama arti yang lebih tepat untuk kalimat اَغْفِرْ لَنَا adalah semoga Engkau (Allah) menutupi (dosa-dosa) kami.

NAPAK TILAS RUWAHAN DI MASJID AGUNG DEMAK

NAPAK TILAS RUWAHAN DI MASJID AGUNG DEMAK

Suasana Shalat berjamaah di Masjid Agung Demak 18 Juli 2011
Bulan Sya’ban atau yang lebih familier dikenal dengan bulan Ruwah oleh kalangan Jama’ah Asy-Syahadatain di wilayah Jawa Tengah adalah agenda yang dilaksanakan rutin setiap tahun. Ruwah sendiri menurut cerita berasal dari kata Ruh yang berarti Roh, artinya bulan Ruwah oleh sebagian Jama’ah Asy-Syahadatain dianggap sebagai momen untuk mengirim doa kepada ahli kubur yang sudah meninggal.
Datangnya bulan Sya’ban bagi Jama’ah Asy-Syahadatain di Kudus sekitarnya yang meliputi Kabupaten Kudus, Demak, Jepara dan Pati menjadi agenda utama setiap tahunnya. Menurut cerita dulu Abah Umar mengajak muridnya seperti K. Khozin Munjul, K. Yasin Wanantara, K. Dawud Indramayu, K. Masrukhin dan tokoh-tokoh yang lain untuk bersafari rohani yaitu ziarah Wali Songo dan Wali yang lain. Secara langsung Abah Umar mengajarkan kepada murid-muridnya untuk menanamkan rasa syukur dan terimakasih kepada para leluhur dalam hal ini Wali Songo yang telah mengislamisasi tanah Jawa sehingga seperti saat ini. Motivasi yang lain Abah Umar melalui momen bulan Sya’ban atau Ruwah mengajarkan untuk mengirim doa kepada para leluhur.
Sesampai Abah Umar dan rombongan di makam Raden Fattah Demak yang berada di jantung kota Demak Abah Umar mewasiatkan kepada K. Masrukhin dan rombongan untuk mengadakan acara rutin setiap bulan Sya’ban di tempat tersebut. Sehingga sampai dengan saat ini setiap hari Senin setelah tanggal 15 Sya’ban menjadi agenda rutin Jama’ah Asy-Syahadatain Kudus sekitarnya. Dari tahun ke tahun acara tersebut meluas menjadi ritual “napak tilas” oleh Jama’ah Asy-Syahadatain di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DKI Jakarta. Seiring perjalanan tersebut mengingat tamu yang dari jauh maka Jama’ah Asy-Syahadatain Kudus sekitarnya merasa betanggungjawab atas acara tahunan tersebut, sehingga waktu itu tempat Masjid dan Rumah K. Masrukhin merupakan tempat istirahat bagi tamu yang jauh. Kumpulnya Jama’ah Asy-Syahadatain tersebut tidak disia-siakan oleh beliau, akhirnya selain ziarah ke Raden Fattah Demak maka di Mejobo tempatnya K. Masrukhin malam Senin sebelum ke Demak di adakan Tawasul Akbar.
Suasana Tawasul di dalam Masjid Agung Demak 18 Juli 2011
Tahun ini 1432 H. acara Ruwahan berjalan sangat meriah dan khidmat. Acara yang dihadiri oleh ratusan Jama’ah Asy-Syahadatain dari penjuru provinsi tersebut menjadi sarana silaturahim antar jama’ah. Semoga acara tersebut menjadi langkah kita untuk mewujudkan “Sentralisasi Tuntunan Jama’ah Asy-Syahadatain”
Oleh Yusuf Muhajir Ilallah

Sabtu, 16 Juli 2011

ABSTRAKSI Tarekat Jama'ah Asy-Syahadatain sebagai "Bengkel Jiwa"


Orang sufi melihat kerusuhan dalam dunia ini disebabkan oleh 2 (dua) keadaan, pertama karena manusia itu tidak percaya adanya Allah, kedua karena manusia itu terlalu mencintai dirinya sendiri. Sebab yang pertama mengakibatkan tidak mengenal Allah, yang mengakibatkan pula tidak takut dan tidak patuh kepada perintah-perintah dan larangan-larangan Allah, yang merupakan peraturan-peraturan untuk mengadakan perdamaian antara manusia satu sama lain di muka bumi ini.
Sebab yang kedua mengakibatkan timbul beberapa keadaan, seperti mencintai harta benda dan kekayaan, mencintai makan minum lezat yang berlimpah-ruah, mencintai anak istri yang berlebihan, mencintai rumah yang besar dan megah, mencintai kedudukan yang tinggi dan berpengaruh, mencintai nama yang harumdan masyhur, yang akhirnya membawa kepada kecintaan yang sangat kepada dunia dan ingin hidup kekal di atas permukaan bumi.
Baik keadaan tidak mengindahkan peraturan-peraturan Allah mengenai pergaulan antara manusia dengan manusia manapun akibat-akibat mencintai diri sendiri yang berlebih-lebihan itu, maka timbullah pertentangan-pertentangan kepentingan antara manusia dengan manusia dan antara golongan dengan golongan, yang merusak persaudaraan dan perdamaian dalam pergaulan. Masing-masing manusia itu bekerja untuk dirinya sendiri dan untuk golongannya sendiri, dengan tidak mempedulikan kepentingan orang atau golongan lain, yang sebenarnya harus hidup bersama-sama, serta gotong royong, secara adil dan secara makmur bersama. Maka terjadilah pula rebutan hidup mewah dan rebutan rizki serta kekayaan yang tidak ada batasnya. Apabila perbuatan ini sampai ke puncaknya, tidak dapat disingkirkan adanya perkelahian antara manusia dengan manusia, atau adanya peperangan antara golongan dengan golongan. Maka lenyaplah keamanan dan perdamaian di atas muka bumi ini, disebabkan kekufuran terhadap Allah dan keserakahan terhadap diri sendiri.
Bagaimana usaha melenyapkan pertentangan ini???
INGAT… KESHALIHAN SOSIAL berawal dari KESHALIHAN INDIVIDU…
Keshalihan Individu bisa terbentuk dengan apabila direprarasi terlebih dahulu di “Bengkel Jiwa”. Salah satu konsepnya adalah Takhalli, Tahalli, dan Tajalli. Demikian al-Habib Umar bin Isma’il bin Ahmad bin Yahya membangun sebuah “Bengkel Jiwa” dengan sebutan Tarekat Syahadat Shalawat atau sekarang dikenal dengan Jama’ah Asy-Syahadatain .

BIOGRAFI SINGKAT ABAH UMAR

Berikut adalah biografi singkat Abah Umar yang diketahui oleh umumnya masyarakat yang sudah kami rangkum:
Abah Umar adalah keturunan Rasulullah SAW. ke-36. Marga beliau adalah Yahya. Adapun silsilahnya adalah Umar bin Isma’il bin Ahmad bin Syaikh bin Thaha bin Masyikh bin Ahmad bin Idrus bin Abdullah bin Muhammad bin Alawi bin Ahmad bin Yahya bin Hasan bin Ali bin Alawi bin Muhammad bin Ali bin Alawi bin Muhammad bin Ali Muhammad Shahib al-Mirbath bin Ali Khali Qasim bin Alawi bin Muhammad bin Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir Ilallah bin Isa an-Naqib bin Muhammad an-Naqib bin Ali ar-Aridl bin Ja’far as-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zain al-Abidin bin Husain bin Fathimah az-Zahra bint Muhammad Rasulullah saw.
Habib Umar adalah salah seorang keturunan Alawiyah yang lahir pada tanggal 12 Rabiul Awwal 1298 H. bertepatan dengan tanggal 22 Juni 1888 M. di Arjawinangun Cirebon (± 25 KM ke arah Barat Laut kota Cirebon). Sejak usia remaja, beliau mengembara menuntut ilmu dari satu pondok pesantren ke pondok pesantren yang lain.
Pesantren yang beliau singgahi pertama kali adalah pondok pesantren Ciwedus Cilimus Kuningan Jawa Barat yang diasuh oleh KH. Ahmad Shobari. Menurut cerita KH. Ahmad Shobari adalah orang yang pertama kali bai’at tarekat kepada beliau, padahal usia Abah Umar di kala itu masih relatif muda. Dari Ciwedus, beliau bertemu dengan KH. Abdul Halim, seorang kyai muda dari Majalengka Jawa Barat yang juga pernah menjadi murid KH. Ahmad Shobari.
Dua tahun kemudian beliau pindah ke pondok pesantren Bobos Palimanan Cirebon yang dipimpin oleh K Sujak. Pada tahun 1916 beliau pindah lagi ke pondok pesantren Buntet Astanajapura Cirebon Jawa Barat yang diasuh oleh KH. Abbas. Kemudian setelah satu tahun di sana, beliau pergi ke pondok pesantren Majalengka yang diasuh oleh KH. Anwar dan KH. Abdul Halim. Di pondok pesantren Majalengka ini, Abah Umar menimba ilmu selama lima tahun. Tahun keenam Abah Umar diangkat sebagai tenaga pengajar tetap di madrasah yang didirikan oleh KH. Abdul Halim. Di sini beliau seringkali terlibat dalam diskusi dengan para tokoh di pesantren maupun para tokoh yang berada di persyarikatan ulama sehingga nama beliau cepat terkenal.
Pada tahun 1923 habib Umar pulang ke kampung halaman. Dari sinilah beliau memulai berdakwah dan membangun masyarakat, baik dalam bidang sosial, material, keagamaan, maupun spiritual.
by. Yusuf Muhajir Ilallah Ponpes Miftahussa'adah Kudus

Epistemologi Asy-Syahadatain (Pengantar Awal)

Kesaksian yang dalam bahasa arab adalah asy-syahâdah secara etimologi berasal dari kata syahida – yasyhadu – syahadah yang berarti bersaksi. Menurut Muḥammad bin Muḥammad al-Ḥusainî dalam tâj al-‘arûs arti syahadat adalah informasi yang pasti baik secara lisan maupun prinsip.[1] Artinya, informasi tersebut dinyatakan pasti dan otentik secara lisan yang biasanya menggunakan media “dari mulut ke mulut”, maupun secara prinsip yang biasanya terekam oleh catatan yang otentik.
Dalam al-Quran kalimat yang berhubungan syahadat seringkali diulang-ulang. Setidaknya ada beberapa pengertian dengan konteks yang berbeda-beda. Sebagaimana contoh surat al-Baqarah ayat 185 disebutkan bahwa konteks syahadat pada ayat tersebut adalah kesaksian tentang munculnya hilal sebagai pertanda masuknya bulan puasa. Konteks yang berbeda adalah Ali ‘Imran ayat 18 yang berbunyi:
            شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Artinya:      Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Ali ‘Ilram: 18)
Zamakhsyari mengartikan syahida dalam ayat tersebut sebagai penyaksian yang bertujuan untuk memberikan informasi pasti dan menunjukkan kepada yang lain.[2] Maka tidak salah kalau Ibnu Katsir memberikan predikat bahwa penyaksian model ini adalah penyaksian yang paling benar dan paling adil, karena yang bersaksi adalah Allah, para Malaikat dan para ulama.[3] Senada dengan Zamakhsyari, al-Allusi juga mengartikan syahida penjelasan. Menurut al-Allusi syahida adalah majas yang diserupakan kepada kalimat bayyana (menjelaskan).[4]
Masih banyak lagi konteks pemahaman yang berbeda dari kalimat syahadat. Penulis bisa menyimpulkan bahwa substansi makna syahadat adalah berhubungan dengan lahiriyah dan batiniyah. Artinya, ada penyaksian yang diartikan cukup melihat karena berhubungan dengan suatu hal yang bersifat lahiriyah seperti melihat hilal. Ada penyaksian yang bersifat batin seperti yang digambarkan pada surat Fushshilat ayat 20, yang menjelaskan tentang ahli neraka yang apabila mereka sampai ke neraka, pendengaran, penglihatan dan kulit mereka menjadi saksi terhadap mereka tentang apa yang telah mereka kerjakan. Ada pula penyaksian yang bersifat lahir batin sebagai gambaran surat Ali Imran ayat 18 yang telah dijelaskan di atas.
Syahadat merupakan suatu bacaan yang familier yang seringkali diucapkan dalam setiap ritual keagamaan umum. Seperti di dalam shalat yang dibaca di dalam bacaan tasyahud, di dalam kalimat adzan, di dalam khotbah dan masih banyak lagi. Dalam konteks yang berbeda-beda tersebut hampir menunjukkan arti yang sama.
Abû Bakr al-Anbârî mengartikan syahadat pada konteks kalimat adzan sebagai mengetahui dan menjelaskan. Sehingga apabila diucapkan asyhadu an la ilaha illa Allah mempunyai arti aku mengetahui dan menjelaskan kepada orang lain bahwa tiada tuhan selain Allah. Sedangkan asyhadu anna Muhammad rasul Allah berarti aku mengetahui dan menjelaskan kepada orang lain bahwa Muhammad adalah utusan Allah.[5] Begitu pula syahadat yang dibaca di dalam shalat, khotbah, doa tertentu dan lain-lain mempunyai pemahaman arti yang hampir sama.
Dengan demikian maka bisa disimpulkan bahwa syahadat secara terminologi adalah sebuah penyaksian yang di dalamnya mengandung arti mengetahui, meyakini dan menjelaskan kepada orang lain bahwa tiada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah.
oleh Yusuf Muhajir Ilallah

[1] Muḥammad bin Muḥammad bin Abd ar-Razzâq al-Ḥusainî, Tâj al-‘Arûs min Jawâhir al-Qamûs, Dâr al-Hidâyah, Beirut, tp. th., juz 8 hlm. 252
[2] Muhmud bin Amr bin Ahmad al-Zamashsyari, Al-Kasysyaf, Maktabah Syamilah, juz 1, hlm. 260
[3] Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurasyi, Tafsir al-Qur’an al-Adhim, Dar Thayyibah, 1999, juz 2, hlm. 24
[4] Syihabuddin Mahmud bin Abdullah al-Allusi, Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al-Adhim wa as-Sab’ al-Matsani, juz. 2 hlm. 453.
[5] Muḥammad bin Mukarram bin Manẓûr al-‘Afriqî, Lisân al-’Arab, Dâr aṣ-Ṣâdir, Beirut, t.th, juz. 3, hlm. 238.