Guru
Mursyid sebagai Wasilah Kepada Allah
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ
وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang
mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu
mendapat keberuntungan. (al-Maidah: 35)
Ayat ini berisi perintah bahwa manusia wajib mencari
dan menemukan wasilah Allah. Menurut versi sufi wasilah dalam ayat ini bermakna
Nurun ala Nur, karena ia membawa
peranan untuk menghantar, menuntun jiwa/rohani manusia yang telah disucikan
agar sampai kehadirat-Nya.
Kalau
Rasulullah menggunakan Buraq sebagai wasilah untuk dapat mencapai kehadirat Allah,
berarti kitapun harus memakai wasilah. Wasilah Allah itu telah tertanam dalam
diri Rasulullah saw., maka untuk mendapatkannya salah satunya adalah dengan
menggabungkan rohani suci Rasulullah melalui saluran rohani seorang guru yang
mursyid.
وَلَمَّا
وَرَدَ فِى الْحَدِيْثِ كُنْ مَعَ اللهِ وَاِنْ
لَمْ تَكُنْ فَكُنْ مَعَ مَنْ كَانَ مَعَ اللهِ فَإِنَّهُ يُوْصِلُكَ إِلَى اللهِ إِنْ
كُنْتَ مَعَهُ
"dan berdasarkan riwayat dalam hadits tetaplah kamu bersama
Allah dan jika tidak, maka tetaplah bersama orang yang selalu bersama Allah.
Sesungguhnya ia akan mengantar kamu kepada Allah, jika kamu terus bersamanya."
Jadi,
titik berat daripada ajaran tasawwuf adalah mewajibkan penganutnya untuk
memiliki wasilah Allah sebagai kendaraan rohani agar dapat berhubungan dengan
segala hal yang berkaitan dengan aspek rohaniyah bukan yang bersifat
jasmaniyah.
Diri
rohani para Nabi dan Rasul, para Wali Allah, serta Rohani orang-orang mukmin
sudah pasti dipenuhi oleh energy ilahi yang mempunyai kekuatan dan getaran yang
maha tinggi. Kekuatan itu satu-satunya yang mampu menghadang kekuatan iblis
dalam diri, dan menghadang api neraka.
Manusia
harus berjuang melalui jalan tarekatullah bila hendak mendapatkan energy ilahi
tersebut. disamping itu pula harus memahami hakikat daripada dimensi jasmani
dan rohani. Sebab tertibnya rukun dan syarat berkaitan dengan jasmani belum
bisa dikatakan cukup untuk mendapatkan energy ilahi tadi. Akan tetapi, masih
memerlukan sisi lain yang berhubungan dengan rohani, rahasia ini ada dalam diri
guru yang mursyid.
Kriteria
Guru Mursyid
Tidak
mudah untuk menyandang predikat guru mursyid kalau bukan Allah sendiri yang
menunjuknya. Secara khusus para ulama memberikan criteria atau cirri-ciri guru
mursid sebagai berikut;
وَشُرُوْطُ
الشَّيْخِ الَّذِى يَصْلُحُ أَنْ يَكُوْنَ نَائِبًا لِرَسُوْلِ اللهِ ص م. أَنْ يَكُوْنَ
تَابِعًا لِشَيْخٍ بَصِيْرٍ يَتَسَلْسَلُ إِلَى سَيِّدِ الْكَوْنَيْنِ ص م. وَأَنْ
يَكُوْنَ عَالِمًا لِأَنَّ الْجَاهِلَ لاَيَصْلُحُ لِلإِرْشَادِ وَأَنْ يَكُوْنَ مُعْرِضًا
عَنْ حُبِّ الدُّنْيَا وَحُبُّ الْجَاهِ وَيَكُوْنَ مُحْسِنًا لِرِيَاضَةِ نَفْسِهِ
"Syarat-syarat
guru yang patut menjadi pengganti Rasulullah adalah;
- mengikuti seorang guru yang dapat melihat (dengan hati)
yang menyambung (sanadnya) sampai kepada Rasulullah, sang pemimpin dua makhluk
(jin dan manusia).
- Harus Alim (menguasai ilmu dzahir dan bathin), sebab
orang yang bodoh tidak bisa menjadi penunjuk kebenaran.
-
Selalu berpaling dengan kecintaan
kepada dunia dan kedudukan.
- Selalu dapat melatih jiwanya."[1]
وَيَخْتَارُهُ
لِلصَّحْبَةِ مِنَ اْلأَئِمَّةِ الْمُؤَيِّدِيْنَ مِنَ اللهِ تَعَالَى بِنُوْرِ الْبَصِيْرَةِ
الزَّاهِدِيْنَ بِقُلُوْبِهِمْ فِى هَذَا الْعَرَضِ الْحَاضِرِ الْمُشْفِقِيْنَ عَلَى
الْمَسَاكِيْنِ الرُّؤَفَاءِ عَلَى ضُعَفَاءِ الْمُؤْمِنِيْنَ فَمَنْ وَجَدَ أَحَدًا
عَلَى هَذِهِ الصِّفَةِ فِى هَذَا الزَّمَانِ الْقَلِيْلِ الْخَيْرِ جِدًّا فَلْيَشُدَّ
يَدَهُ عَلَيْهِ وَلِيَعْلَمَ أَنَّهُ لاَيَجِدُ لَهُ ثَانِيًا (أم البراهين ص 69)
"Dan
Ulama memilih untuk berguru kepada imam-imam Muayyidin (yang menguatkan) agama
Allah dengan nur pengawasannya, yang zuhud (Zahidin) terhadap/dari dunia
(harta), yang mengasihi (musyfiqin) orang-orang miskin, yang lembut dan kasih
sayang (ru'afa) kepada orang-orang mukmin yang lemah. Maka barang siapa
menemukan seseorang yang bersifat seperti sifat ini pada zaman yang sangat
sedikit kebaikannya ini, maka berpegang kuatlah dan belajarlah kepadanya,
karena sesungguhnya ia itu tiada duanya".[2]
فَمَنْ
لَمْ تَتَّصِلُ سِلْسِلَتُهُ إِلَى الْحَضْرَةِ النَّبَوِيَّةِ فَإِنَّهُ مَقْطُوْعُ
الْفَيْضِ وَلَمْ يَكُنْ وَارِثًا لِرَسُوْلِ اللهِ ص م. وَلاَ تُؤْخَذُ مِنْهُ الْمُبَايَعَةَ
وَاْلإِجَازَةَ
وَلِمَا
أَخْرَجَهُ الطَّبْرَانِى عَنْ عَبْدِ الله بن بِسْرِ رَضِيَ الله عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ
قَالَ رَسُولُ الله ص م. طُوْبَى لِمَنْ رَآنِى وَآمَنَ بِى وَطُوْبَى لِمَنْ رَآى
مَنْ رَآنِى وَ لِمَنْ رَآى مَنْ رَآى مَنْ رَآنِى وَآمَنَ بِى وَطُوْبَى لَهُمْ وَحُسْنُ
مَآبٍ
وَلِهَذَا
جَرَتْ التَّأْثِيْرَاتُ مِنَ الْمَشَايِخِ لِلْمُرِيْدِيْنَ وَيَجْرِى إِلَى آخِرِ
الدَّهْرِ لِأَنَّ إِسْنَادَ الْحَالِ كَإِسْنَادِ اْلأَحْكاَمِ
"Maka barangsiapa (guru) yang tidak menyambung silsilahnya
sampai kepada Rasulullah, maka sesungguhnya ia terputus dari limpahan
(barakah/rahmat) dan ia bukan pewaris Rasulullah saw. dan kita tidak boleh
mengambil baiat dan ijazah darinya
dan
berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam Thabrani dari Abdullah bin Bisr ra.
Bahwa sesungguhnya ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Alangkah bahagianya
orang yang melihatku dan beriman kepadaku, betapa bahagianya orang yang melihat
orang-orang yang melihatku, dan alangkah bahagianya orang yang melihat
orang-orang yang melihat pada orang yang melihatku dan beriman kepadaku,
alangkah bahagianya mereka, dan (bagi mereka) tempat kembali yang baik.
Maka dari itu berlaku
pengaruh-pengaruh para guru terhadap murid-murid mereka, dan (hal ini) berjalan
terus sampai akhir zaman. Sebab, sanad dalam `hal` sama dengan sanad dalam
hukum."[3]
[1]
Khozinatul Asror hal. 194 (lihat pula
dalam kitab Tanwirul Kulub hal. 525)
[2]
Sayyid Muhammad As-Sanusi, "Ummul Barahin" hal. 69, Maktabah Karya
Toha Putra, Semarang.
[3]
Khozinatul Asror hal. 188-189
Nara Sumber: K. Zaenal Abidin Kanci dan K. Drs. Hasan Makmum
Penulis: Ustadz Abdul Hakim MunjulEditor: Yusuf Muhajir Ilallah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar