BANNER

banner kecil

Sabtu, 16 Juli 2011

Epistemologi Asy-Syahadatain (Pengantar Awal)

Kesaksian yang dalam bahasa arab adalah asy-syahâdah secara etimologi berasal dari kata syahida – yasyhadu – syahadah yang berarti bersaksi. Menurut Muḥammad bin Muḥammad al-Ḥusainî dalam tâj al-‘arûs arti syahadat adalah informasi yang pasti baik secara lisan maupun prinsip.[1] Artinya, informasi tersebut dinyatakan pasti dan otentik secara lisan yang biasanya menggunakan media “dari mulut ke mulut”, maupun secara prinsip yang biasanya terekam oleh catatan yang otentik.
Dalam al-Quran kalimat yang berhubungan syahadat seringkali diulang-ulang. Setidaknya ada beberapa pengertian dengan konteks yang berbeda-beda. Sebagaimana contoh surat al-Baqarah ayat 185 disebutkan bahwa konteks syahadat pada ayat tersebut adalah kesaksian tentang munculnya hilal sebagai pertanda masuknya bulan puasa. Konteks yang berbeda adalah Ali ‘Imran ayat 18 yang berbunyi:
            شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Artinya:      Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Ali ‘Ilram: 18)
Zamakhsyari mengartikan syahida dalam ayat tersebut sebagai penyaksian yang bertujuan untuk memberikan informasi pasti dan menunjukkan kepada yang lain.[2] Maka tidak salah kalau Ibnu Katsir memberikan predikat bahwa penyaksian model ini adalah penyaksian yang paling benar dan paling adil, karena yang bersaksi adalah Allah, para Malaikat dan para ulama.[3] Senada dengan Zamakhsyari, al-Allusi juga mengartikan syahida penjelasan. Menurut al-Allusi syahida adalah majas yang diserupakan kepada kalimat bayyana (menjelaskan).[4]
Masih banyak lagi konteks pemahaman yang berbeda dari kalimat syahadat. Penulis bisa menyimpulkan bahwa substansi makna syahadat adalah berhubungan dengan lahiriyah dan batiniyah. Artinya, ada penyaksian yang diartikan cukup melihat karena berhubungan dengan suatu hal yang bersifat lahiriyah seperti melihat hilal. Ada penyaksian yang bersifat batin seperti yang digambarkan pada surat Fushshilat ayat 20, yang menjelaskan tentang ahli neraka yang apabila mereka sampai ke neraka, pendengaran, penglihatan dan kulit mereka menjadi saksi terhadap mereka tentang apa yang telah mereka kerjakan. Ada pula penyaksian yang bersifat lahir batin sebagai gambaran surat Ali Imran ayat 18 yang telah dijelaskan di atas.
Syahadat merupakan suatu bacaan yang familier yang seringkali diucapkan dalam setiap ritual keagamaan umum. Seperti di dalam shalat yang dibaca di dalam bacaan tasyahud, di dalam kalimat adzan, di dalam khotbah dan masih banyak lagi. Dalam konteks yang berbeda-beda tersebut hampir menunjukkan arti yang sama.
Abû Bakr al-Anbârî mengartikan syahadat pada konteks kalimat adzan sebagai mengetahui dan menjelaskan. Sehingga apabila diucapkan asyhadu an la ilaha illa Allah mempunyai arti aku mengetahui dan menjelaskan kepada orang lain bahwa tiada tuhan selain Allah. Sedangkan asyhadu anna Muhammad rasul Allah berarti aku mengetahui dan menjelaskan kepada orang lain bahwa Muhammad adalah utusan Allah.[5] Begitu pula syahadat yang dibaca di dalam shalat, khotbah, doa tertentu dan lain-lain mempunyai pemahaman arti yang hampir sama.
Dengan demikian maka bisa disimpulkan bahwa syahadat secara terminologi adalah sebuah penyaksian yang di dalamnya mengandung arti mengetahui, meyakini dan menjelaskan kepada orang lain bahwa tiada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah.
oleh Yusuf Muhajir Ilallah

[1] Muḥammad bin Muḥammad bin Abd ar-Razzâq al-Ḥusainî, Tâj al-‘Arûs min Jawâhir al-Qamûs, Dâr al-Hidâyah, Beirut, tp. th., juz 8 hlm. 252
[2] Muhmud bin Amr bin Ahmad al-Zamashsyari, Al-Kasysyaf, Maktabah Syamilah, juz 1, hlm. 260
[3] Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurasyi, Tafsir al-Qur’an al-Adhim, Dar Thayyibah, 1999, juz 2, hlm. 24
[4] Syihabuddin Mahmud bin Abdullah al-Allusi, Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al-Adhim wa as-Sab’ al-Matsani, juz. 2 hlm. 453.
[5] Muḥammad bin Mukarram bin Manẓûr al-‘Afriqî, Lisân al-’Arab, Dâr aṣ-Ṣâdir, Beirut, t.th, juz. 3, hlm. 238.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar