BANNER

banner kecil

Sabtu, 16 Juli 2011

Ar-Radzilah dalam pandangan al-Ghazali

Ar-Radzilah secara etimologi adalah dari kata radzula yang mempunyai arti buruk, jelek, rendah dan hina. Muhammad bin Muhammad al-Husaini dalam Taj al-‘Arusy mendefinisakan ar-radzil sebagai “ad-dun min an-nas fi mandharih wa halatih” (kehinaan seseorang dari segi pandangan orang lain maupun dari sifatnya sendiri). (Taj al-‘Arusy min Jawahir al-Qamus: 29/66)
Allah swt. telah menyebutkan di dalam al-Qur’an beberapa kali mengenai orang-orang yang mempunyai sifat ar-radzilah. Penyebutan tersebut berkenaan dengan kaum kafir yang menghina utusan Allah dengan menganggap bahwa yang mengikuti utusan Allah adalah orang-orang yang hina. Allah swt. berfirman:
فَقَالَ الْمَلَأُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَوْمِهِ مَا نَرَاكَ إِلَّا بَشَرًا مِثْلَنَا وَمَا نَرَاكَ اتَّبَعَكَ إِلَّا الَّذِينَ هُمْ أَرَاذِلُنَا بَادِيَ الرَّأْيِ وَمَا نَرَى لَكُمْ عَلَيْنَا مِنْ فَضْلٍ بَلْ نَظُنُّكُمْ كَاذِبِينَ (هود: 27)
Artinya:    “Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: "Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti Kami, dan Kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara Kami yang lekas percaya saja, dan Kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas Kami, bahkan Kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta". (Hud: 27)
Dalam kesempatan lain di dalam al-Qur’an disebutkan perkataan orang-orang kafir kepada nabi Nuh yang mempertanyakan kredibelitas kenabiannya:
قَالُوا أَنُؤْمِنُ لَكَ وَاتَّبَعَكَ الْأَرْذَلُونَ (نوح: 111)
Artinya:    “Mereka berkata: "Apakah Kami akan beriman kepadamu, Padahal yang mengikuti kamu ialah orang-orang yang hina?". (Nuh: 111)
Al-Imam al-Ghazali mendefinisikan ar-radzilah sebagai penyakit hati yang dapat menjalar keseluruh pribadi seseorang sehingga menjadikan seseorang tersebut mempunyai akhlak yang tercela dan semakin hina. Beliau menambahkan bahwa manusia lahir dan hidup berada dalam budi pekerti yang kurang sempurna, kemudian tugas manusia adalah untuk menyempurnakannya dengan tarbiyyah (pendidikan), tahdzib al-akhlaq (membersihkan hati) dan at-taghdziyyah bi al-‘ilm (sarapan ilmu). (Ihya’ ‘Ulum ad-Din: 3/21)
Keterangan di atas dapat dijadikan inspirasi bagi kita semua bahwa sifat hina bisa datang dari diri sendiri dan bisa datang dari pengaruh orang lain. Sebagaimana yang dikatakan oleh al-Ghazali bahwa asal mula sifat ar-radzilah ini adalah berawal dari penyakit hati. Kemudian menyebar ke berbagai pribadi seseorang melalui panca indera. Ketika melihat tetangganya sedang memperoleh kenikmatan dari Allah, mata memproses kejadian tersebut kemudian memasukkan ke dalam hati dan timbullah sifat iri, drengki dan hasud. Ketika mendengar temannya mendapatkan kenikmatan, telinga memproses suara tersebut yang kemudian memasukkan ke dalam hati dan timbullah sifat hasud. Dan begitu seterusnya.
Pribadi yang sudah terkena penyakit hati akan menularkan kepada orang lain yang tidak mempunyai benteng yang kuat. Benteng tersebut adalah taqwa. Allah swt. telah berfirman tentang pakaian yang kita pakai untuk melindungi dari hal batin (benteng batin) adalah takwa: “Hai anak Adam, Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. dan pakaian takwa Itulah yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (al-A’raf: 26). Dalam kesempatan lain Allah memerintahkan kita untuk medapatkan bekal yang akan menjaga kita dari hal yang buruk yaitu takwa: “Berbekallah, dan Sesungguhnya Sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal.” (al-Baqarah: 197)
Penyakit hati (sifat ar-radzilah) mempunyai beberapa macam di antaranya adalah ‘Ujub yaitu menyombongkan diri sendiri tanpa sepengetahuan orang lain, biasanya kesombongan ini hanya terjadi di dalam hati saja sehingga orang lain tidak tau. Berbeda dengan takabbur yang menyombongkan diri dengan menampakkan kepada orang lain, baik perbuatan maupun perkataan. Penyakit hati yang lain adalah ria atau pamer. Allah menyinggung langsung orang yang pamer pada surat al-Ma’un ayat 6: “Orang-orang yang berbuat ria”. Definisi ria adalah melakukan sesuatu amal perbuatan tidak untuk mencari keridhaan Allah akan tetapi untuk mencari pujian atau kemasyhuran di masyarakat.
(Yusuf Muhajir Ilallah, pengen diaku muride Abah Umar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar